Tuesday 4 January 2011

Memanusiawikan Layanan Angkutan Umum Kita

Newcastle upon Tyne, 29 Desember 2010, sebuah kejadian menarik antara seorang sopir bus dengan calon penumpang beberapa hari yang lalu menyita perhatian saya. 

Saat itu saya bermaksud hendak pulang ke rumah setelah seharian berkutat di kampus. Meskipun jarum jam baru menunjukkan pukul 17.15 GMT, namun suasana sudah gelap. 
 
Maklumlah, di musim dingin ini mentari tenggelam lebih awal yakni sekitar pukul 15.30 GMT. Saya memilih menunggu bus di halte khusus bus rute 39 dan 40 karena selain memiliki rute paling dekat ke rumah, frekuensi kedatangan bus ini lebih sering dibandingkan bus lainnya.

Seperti biasa, saya ikut mengantri dibelakang para calon penumpang. Beberapa saat berikutnya ikut bergabung beberapa calon penumpang lainnya dibelakang saya. 

Salah satunya adalah seorang penyandang cacat yang menggunakan kursi roda (bermesin). Begitu bus datang, secara teratur satu persatu penumpang menaiki bus. Karena jarak rumah tidak terlalu jauh, saya memilih duduk di bangku bagian depan yang kebetulan masih kosong. 

Ketika tiba giliran si penyandang cacat, sopir bus pun menurunkan bagian depan bus dengan harapan pengguna kursi roda tersebut dapat naik dengan mudah. Namun si calon penumpang tersebut menolak untuk naik dan meminta sopir menyediakan ramp atau bidang miring yang landai untuk naik ke bus.

Si sopir mencoba membujuk calon penumpang tadi dengan meminta bantuan penumpang dibelakangnya untuk membantu mengangkat kursi roda tersebut, agar bisa masuk dengan mudah ke bus. 

Lagi-lagi si calon penumpang menolak dan tetap meminta si sopir untuk menyediakan ramp untuk naik. Sepertinya sopir yang satu ini sedang tidak mood untuk membantu, maka dia minta si penyandang cacat untuk naik bus yang dibelakangnya dengan alasan dia tidak punya ramp. 

Jawaban ini tentu saja mengada-ada, karena tiap bus sudah dilengkapi dengan alat tersebut, dan si calon penumpang tahu itu. Diapun memaksa si sopir untuk mengambil ramp tersebut di box yang terletak di bagian tengah bus.

Akhirnya si sopir pun turun dari kursinya dan mengambil ramp. Ketika hendak memasang ramp, si sopir pun kembali ngeyel meminta penumpang itu untuk mau masuk dengan dibantu. Dia beralasan bahwa dia tidak bisa memasang ramp. 

Dengan sedikit kesal, si calon penumpangpun memerintahkan si sopir untuk bekerja dengan baik sesuai tugasnya dan mengambil bagian kunci untuk ramp di box dalam bus yang memang sengaja ditinggalkan oleh si sopir. Kemudian si calon penumpang mendiktekan apa yang harus dilakukan oleh si sopir. 

Si sopir pun mengikuti apa yang diperintahkan oleh si calon penumpang sampai akhirnya ramp terpasang sempurna dan sipenyandang cacatpun dapat masuk tanpa bantuan orang lain dan kemudian memposisikan kursi rodanya di ruang khusus kursi roda di dalam bus. 

Entah pura-pura atau memang belum pernah, si sopir terlihat bingung ketika hendak melipat kembali ramp yang tadi dipasang. Barulah setelah diberi tahu oleh si penyandang cacat, si sopir dapat melipat ramp tadi dengan sempurna kembali. 

Tak lupa si penyandang cacat mengucapkan terimakasih atas bantuan si sopir. Dari ekspresinya kelihatan kalau si sopir agak jengkel dengan penumpang ini, namun dia tetap berusaha menunjukkan muka ramah. Tak urung kata-kata keluhan keluar juga dari mulut si sopir ketika hendak meletakkan kembali ramp tersebut karena dia tahu persis bahwa tidak lama lagi dia harus mengambil dan memasang kembali ramp tersebut ketika si penumpang akan turun.

Lama saya tercenung mengingat peristiwa barusan. Begitu kuatnya posisi calon penumpang sehingga si sopir tidak bisa tidak mesti melayani sesuai dengan kebutuhan penumpang tadi. Jika si sopir tidak melayani dengan baik, pastilah si penumpang akan melaporkan kejadiannya ke perusahaan bus dan si sopir pun harus siap menerima sangsi.

Ingatan saya pun melayang ke kampung halaman. Terbayang betapa buruknya layanan angkutan umum kita terhadap penumpangnya, mulai dari sikap dan perlakuan sopir dan kondektur yang kurang menghargai penumpang, kondisi kendaraan yang jauh dari nyaman, sikap penumpang yang tidak tertib dan kurang menghargai penumpang lainnya, sampai kepada tidak adanya kepastian jadwal. 

Silahkan pembaca yang budiman untuk menambahkan list keburukan layanan angkutan umum kita tersebut, saya tidak akan memperpanjangnya.

Saya cukup paham bahwa persoalan layanan angkutan umum ini sangat kompleks dan membutuhkan strategi yang jitu untuk memecahkannya. Fokus saya pada kesempatan ini, adalah pada sikap kita baik sebagai penumpang maupun sebagai awak angkutan dalam memanusiawikan layanan bus. 

Tidak usahlah jauh-jauh mengharapkan adanya layanan prima bagi penyandang cacat seperti kisah diatas, adanya perlakuan manusiawi antara penumpang dan awak angkutan saja sudah cukup menggembirakan. *** 

Artikel ini dimuat di: