Foto dari http://blog.abugfreemind.com |
Ada suatu pertanyaan yang menggelitik baru-baru ini di sebuah milis yang saya ikuti. Pertanyaan itu adalah seputar apa justifikasi kalau seseorang itu berpikiran positif atau berpikiran negatif. Bahwa berpikiran positif itu baik dan banyak manfaatnya, memang sudah tidak diragukan lagi. Yang dipermasalahkan adalah kapan suatu pikiran itu disebut pikiran positif dan kapan dia menjadi pikiran negatif. Belum pernah saya mendengar orang mempertanyakan hal ini sebelumnya sehingga bagi saya hal ini menjadi menarik. Terlebih lagi ketika mendapat penjelasan dari beberapa orang terhadap suatu contoh kasus , justru penjelasannya saling bertolak belakang. Yang satu mengatakan berpikiran positif dan yang satu lagi mengatakan berpikiran negatif. Salah seorang diantaranya mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa pikiran positif atau pikiran negatif itu tergantung pada referensinya. Misal, jika seseorang mengkritik penguasa, maka dari sudut pandang penguasa, pengkritik tadi berpikiran negatif. Namun dari sisi si pengkritik, justru dia sedang berpikiran positif untuk kebaikan bersama. Sepanjang referensi yang digunakan adalah referensi relatif, maka sulit untuk menemukan kata sepakat atas positif atau negatifnya pikiran tadi. Oleh karena itu, pikiran positif atau negatif mestilah diukur dengan ukuran mutlak yakni ajaran dari Yang Maha Kuasa.
Saya mencoba menghubungkan pertanyaan tersebut dengan kejadian yang sering saya baca di media. Ketika mendengar berita akan adanya kunjungan kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat ke beberapa Negara di luar negeri, dapat dipastikan beberapa saat setelahnya kita akan segera disuguhi oleh berbagai tanggapan yang umumnya bernada miring dan menunjukkan ketidaksetujuan atas rencana tersebut. “Ah, paling mencari alasan untuk bisa berangkat ke luar negeri bersama keluarga dengan biaya Negara”, atau “Dasar anggota Dewan, maunya menghamburkan uang saja padahal rakyat banyak yang kelaparan”. Kenapa pikiran demikian muncul dari hampir semua lapisan masyarakat? Apakah ini bisa disebut sebagai pikiran negatif? Bagi mereka yang merasa dipojokkan dengan kalimat tersebut pasti menyebut bahwa hal itu adalah pikiran negative. Makanya kemudian ramai-ramai mengajak: “Marilah kita berpikiran positif, jangan berprasangka.” Nah lho?
Karena penasarannya, saya coba mekukan pencarian di dunia maya. Siapa tahu saya bisa mendapatkan penjelasan yang lebih memuaskan. Melalui sebuah mesin pencari, saya coba mengetikkan kata ‘positive thinking’. Di luar dugaan, ternyata ada begitu banyak website yang mengulas tentang kekuatan positive thinking ini. Biasanya hasil pencarian pertama yang saya buka adalah penjelasan dari wikipedia. Anehnya kali ini saya tidak menemukan penjelasan dari wikipedia melainkan satu topic mengenai optimism. Sedangkan link lainnya umumnya meninjau kata positive thinking dari sudut pandang psikologi yang lebih merupakan personality attitude dan tidak terkait dengan orang lain. Positive thinking bermanfaat bagi orang untuk mengurangi stress dan meningkatkan percaya diri sehingga lebih termotivasi untuk terus berusaha. Jane Sanders, creator debt management dalam sebuah tulisannya menulis “Produce positive thoughts and you’ll find ways to move forward to your goals.”
Karena tidak ada penjelasan yang memadai yang saya temukan, maka saya coba mencari kata sebaliknya yakni negative thinking. Di sini saya mendapati beberapa istilah baru yakni critical thinking dan rasional thinking. Satu kalimat penghubung antara negative thinking denganpositive thinking adalah sebegai berikut:
“As long as you have control of your physical and mental existence, you can apply the necessary actions to block out negative thinking traits, replacing them with positive, intelligent and critical evaluations.” Kalimat tersebut ditulis oleh Stephen G. Saya menangkap kesan bahwa salah satu ciri tidak berpikiran negative adalah dengan melakukan evaluasi secara cerdas dan kritis terhadap permasalahan yang dihadapi. Sepanjang pendapat tersebut sudah melalui kajian kritis dan cerdas, maka pendapat itu bisa disebut sebagai positive thinking.
Kalau begitu, apakah pendapat yang menyatakan bahwa kunjungan kerja anggota Dewan keluar negeri sebagai tidak bermanfaat dan hanya menghamburkan uang negara merupakan pikiran positif atau negative? Tentu saja mesti dilihat dari proses lahirnya pikiran tersebut. Jika pikiran tersebut merupakan hasil kajian cerdas dan kritis maka bisa dikatakan bahwa pikiran tersebut adalah pikiran positif, sebaliknya jika pendapat tersebut lahir bukan dari hasil kajian cerdas dan kritis, maka itu bisa dikatakan itulah negative thinking. Jadi tidak selalu berpendapat bahwa kegiatan kunjungan kerja anggota dewan tersebut sangat bermanfaat bagi rakyat dan harus didukung, merupakan sebuah pikiran positif jika belum pernah melakukan kajian kritis terhadap rencana tersebut.
Sekarang baru saya merasa lebih paham. Ternyata positive thinkingtidak cukup hanya dengan menganggap seseorang/sesuatu itu baik dan selalu akan menghasilkan kebaikan. Tapi lebih dari itu, tanpa mengenyampingkan anggapan-anggapan demikian, yang lebih utama lagi adalah melakukan telaah kritis terhadapnya sehingga bisa memberikan penilaian yang adil dan benar. Ternyata positive thinking itu sulit juga yah.
Assalamualaikum,
ReplyDeleteAbii ini bagus sekali keren bagus post abi ini kaya abi sudah pintar writing nya yaaa!!!
Nada