Monday, 13 December 2010

Pro-Kontra Sistem Ranking dalam Pendidikan

Menarik menyimak diskusi hangat di milis Kibar (Keluarga Islam Indonesia Britania Raya) belakangan ini mengenai plus minus sistem pendidikan yang memberikan ranking dengan sistem pendidikan yang tidak memberikan ranking bagi siswa. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro beralasan bahwa sistem tersebut menimbulkan kompetisi sehingga masing-masing anak akan terdorong untuk berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi yang terbaik. Sedangkan yang kontra beralasan bahwa pemberian ranking demikian ditengarai dapat menyebabkan kurangnya sikap menghargai antar siswa dimana anak yang tidak mendapat juara kurang mendapat penghargaan meskipun telah melakukan peningkatan yang cukup bagus.
Jika ditanya pendapat saya mengenai sistem ranking ini, tentu saya akan mengatakan bahwa sitem ini ada baik dan buruknya. Untuk sekedar berbagi, saya pernah punya pegalaman tidak mengenakkan akibat sistem ranking tersebut. Kebetulan saya selalu mendapat ranking terbaik di kelas dan di sekolah sejak di bangku SD sampai tamat SMA. Tentu saja saya senang mendapatkan ranking terbaik karena di samping mendapatkan penghargaan dan hadiah dari para guru, saya juga dapat membuat orang tua saya bangga. Namun ternyata tidak semua orang senang dengan keberhasilan saya. Beberapa teman merasa iri dan bersepakat untuk membuat ranking saya jatuh. Mereka menyusun rencana yang sungguh luar biasa untuk ukuran anak-anak yaitu: Pertama, mencuri buku catatan saya; Kedua, mengganggu konsentrasi saya ketika belajar dan Ketiga, memukul kepala saya berulang-ulang. Logikanya sangat sederhana, jika saya kehilangan catatan, maka saya tidak bisa mengulang pelajaran lagi. Dengan mengganggu konsentrasi saya ketika belajar, saya tidak akan dapat menangkap pelajaran dengan baik. Terakhir dengan memukul kepala saya, maka kemampuan otak saya untuk berpikir akan berkurang. Sungguh komprehensif. Saya mengetahui rencana ini karena mereka mendiskusikannya di dekat saya. Meskipun saya sudah mengetahui rencana tersebut, saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya tidak berani melawan karena mereka lebih tua (merupakan murid yang tinggal kelas), badannya besar-besar dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Berkali-kali saya kehilangan catatan, berkali-kali pula konsentrasi belajar saya diganggu dan berkali-kali pula kepala saya mengalami pukulan. Ketika berusaha untuk mengadukan hal ini kepada guru, para guru malah menganggap saya mengada-ada karena tidak bisa membuktikannya. Kejadian ini baru berakhir setelah saya masuk SMA. Betul-betul pengalaman buruk yang membuat saya trauma.
Lalu apakah saya juara karena termotifasi oleh sistem ranking ini? Jawabannya tidak. Saya tidak pernah merasa termotifasi karena sistem ini. Cara belajar saya tetap sama bahkan cenderung malas. Saya lebih senang membaca sambil tiduran atau sambil berkebun. Kadang-kadang saya terpaksa belajar karena beberapa teman baik datang ke rumah dan minta diajari. Ujianpun saya lalui dengan biasa-biasa saja. Barulah pada saat pengumuman juara kelas atau juara sekolah, perasaan saya tak menentu. Teman-temanpun berkerubung disekitar saya dan menakut-nakuti bahwa saya tidak juara lagi kali ini. Bosan katanya mendengar yang juara selalu saya. Mereka ingin sekali-sekali mendengar nama orang lain yang dipanggil sebagai juara. Jantung sayapun berdebar dengan kencangnya, antara menyesal karena tidak belajar dengan baik dan keyakinan bahwa saya telah menjawab setiap soal ujian dengan baik. Karena tidak siap menghadapi pengumuman ini, kadang-kadang saya lebih memilih untuk tidak datang ke sekolah dan menitipkan pengambilan rapor ke orang lain. Ketika mengetahui bahwa saya masih juara seperti biasa, senangkah saya? Ternyata tidak juga. Perasaan saya tetap seperti biasa karena memang begitulah biasanya.
Kembali ke diskusi dalam milis yang mayoritas anggotanya merupakan warga Indonesia yang pernah tinggal untuk bekerja atau mengenyam pendidikan tinggi di UK diatas, yang menarik adalah adanya semacam kesepakatan bahwa sistem pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai luhur lebih baik dari sistem pendidikan yang sekedar mengejar nilai angka. Bahkan inilah salah satu keunggulan pendidikan Indonesia yakni bertujuan menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa. Sayangnya tujuan ini mengalami distorsi dalam tataran operasionalnya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia yang lebih mulia karena berilmu dan memiliki moralitas yang tinggi, justru berubah menjadi ajang kompetisi semu antara sesama pejabat, antar sekolah, dan antar kelas. Berbagai usaha dilakukan untuk memenangkan kompetisi semu tersebut. Salah satu faktanya adalah terungkapnya berbagai kebocoran soal ujian yang melibatkan berbagai pihak. Kompetisi semu ini sangat miskin ‘nilai-nilai’, kulit lebih diutamakan dari isi. Sekolah-sekolah berlomba mengadakan pelatihan kiat-kiat menghadapi ujian, atau membebankan sebagian tugasnya ke berbagai lembaga bimbingan belajar.
Saya teringat dengan pesan seorang Professor Emeritus dari salah satu perguruan tinggi di Sumatera. Ketika itu saya merupakan salah seorang peserta pelatihan Bahasa Inggris di universitas tersebut.  Salah satu tujuan pelatihan itu adalah agar para peserta mendapatkan skor TOEFL yang memenuhi syarat untuk diterima di perguruan tinggi luar negeri. Kami, para peserta, bingung karena sampai mendekati akhir masa pelatihan, peserta belum juga mendapatkan kiat-kiat bagaimana agar sukses dalam TOEFL. Sang Professor dengan tenang menjelaskan bahwa mereka tidak menyiapkan kami hanya untuk mencapai skor TOEFL tinggi, namun menyiapkan kami (para peserta) dengan kemampuan penguasaan Bahasa Inggris yang pasti akan sangat berguna bagi kehidupan kami. Beliau mengingatkan kami untuk jangan belajar hanya untuk TOEFL, tapi belajarlah untuk menguasai bahasa itu sendiri. Dengan kemampuan tersebut, kami akan siap menghadapi jenis test Bahasa Inggris yang manapun. Sungguh luar biasa. Sebuah pesan yang tidak dapat kami pahami saat itu, namun terasa sekali kebenarannya saat ini.
Menurut saya inilah sistem yang seharusnya diterapkan. Sistem yang tidak mengutamakan hasil ujian semata, namun sistem yang lebih menghargai proses. Para peserta didik dididik menguasai ilmu itu sendiri tanpa dibebani untuk mencapai skor tertentu. Setiap orang diberikan penghargaan atas setiap capaian baik yang dia peroleh dan mendapatkan perhatian dibagian yang masih perlu peningkatan tanpa perlu dibandingkan dengan orang lain secara terbuka. Moralitas anak-anak didik dijaga agar tetap jujur dan yakin dengan kemampuan diri sendiri. Ujian dilakukan bukan untuk mem-vonis peserta didik melainkan untuk mengevaluasi kinerja guru, mengevaluasi efektifitas teknik yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar serta menyiapkan strategi lanjutan untuk meningkatkan penguasaan peserta didik. Bahwa dikemudian hari peserta didik harus menghadapi ujian tertentu, tidak akan mengapa. Karena mereka sudah memperoleh segala jurus untuk menaklukkannya. Wallahua’lam. (Ritzal405).

Tulisan ini dimuat di:

Saturday, 4 December 2010

Antara Remembrance Day dan Pahlawan Nasional

Veteran bergaya setelah acara Rememberance Day

Siang itu, 11 November 2010, aku sedang berdiskusi dengan M, seorang rekan di Transport Operations Research Group (TORG) Newcastle University. Dia adalah salah seorang PhD Student asli British. Topik yang sedang dibahas adalah mengenai sebuah hasil riset yang di publish di sebuah jurnal on-line. Sedang asyik-asyiknya berdiskusi, datanglah seorang teman British lainnya yang mengingatkan bahwa sekarang sudah pukul 11.00 am. Tiba-tiba si M tadi memencet tombol CTRL-ALT-DEL di keyboardnya seolah-olah dia hendak mengunci komputernya dan kemudian diam membisu. Aku yang terkaget berusaha untuk bertanya, namun dia tidak menghiraukanku lagi. Akhirnya dengan penuh tanda tanya, aku kembali ke mejaku.  Apakah dia tersinggung dengan sikapku ketika berdiskusi tadi?
Aku masih belum bisa konsentrasi ke komputerku. Kupalingkan lagi wajahku menghadapnya. Dia masih membisu. Ya sudahlah, pikirku. Aku kembali berusaha focus ke bacaan yang sedang kubuka di layar monitor sambil sesekali mengetik resumenya. Lama-lama aku sadar, ternyata hanya suara ketikan monitorku saja yang menggema di ruangan itu. Ku amati satu persatu para mahasiswa di ruangan tersebut, tidak satupun yang bergerak. Kebetulan saat itu hanya teman-teman British saja yang berada di ruangan.
Setelah lewat beberapa saat, barulah kembali terdengar suara-suara disana-sini. Kulihat M tadipun juga sudah bergerak kembali. Karena penasaran, kuhampiri dia. Akhirnya diapun menjelaskan mengenai apa yang dilakukannya tadi. Katanya, setiap jam 11 tanggal 11 bulan 11, mereka berdiam selama dua menit untuk mengheningkan cipta dan mendoakan para arwah orang-orang yang telah mengorbankan jiwanya demi membela negaranya dimanapun mereka berada. Mereka mengenalnya dengan Remembrance Day. Tujuannya awalnya adalah untuk ensuring that people remember those who have given their lives for the freedom we enjoy today (maksudnya adalah para prajurit yang tewas dalam perang dunia I dan II). Namun pada perkembangannya, mereka juga mengenang semua prajurit yang meninggal di medan konflik terbaru seperti di Afganistan, Irak dan di manapun tentara Inggris ikut terlibat, tanpa mempertanyakan alasan keterlibatannya. Kelopak bunga Poppy dijadikan sebagai symbol remembrance day.
Aku terkesiap mendengar penjelasannya. Kemaren-nya adalah tanggal 10 November yang merupakan tanggal yang telah ditetapkan sebagai Hari Pahlawan di Negara Republik Indonesia. Aku ingat betul bahwa hari-hari sebelumnya, berbagai media tanah air memberitakan mengenai seleksi Pahlawan Nasional yang akhirnya memutuskan bahwa dari beberapa nama yang diseleksi, ada yang dinyatakan lulus jadi pahlawan nasional dan ada pula yang layak tapi belum waktunya.
Aneh, pikirku dalam hati. Kenapa seseorang adalah pahlawan atau tidak mesti diputuskan oleh segelintir orang? Kenapa juga orang berebut untuk menjadikan seseorang pahlawan? Tidak cukupkah bila orang-orang mengenang jasanya tanpa perlu menunggu keputusan pemerintah mengenai layak tidaknya dia jadi pahlawan?
Siapa yang tidak kenal Muhammad Natsir? Nama dan jasanya pasti akan selalu disebut dalam sejarah Negara Republik Indonesia. Tapi kenapa baru pada tahun 2008 bisa disebut sebagai Pahlawan Nasional? Begitu juga dengan Bung Tomo. Siapa yang tidak kenal beliau? Bahkan tanggal peristiwa 10 November 1945 yang kemudian setiap tahunnya diperingati sebagai hari Pahlawanpun tidak terlepas dari peranan beliau. Beliaupun baru diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 2008. Lain lagi kisah Syafrudin Prawiranegara, yang juga tak kalah besar jasanya selama zaman perjuangan kemerdekaan, bahkan sempat mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Malang baginya, sepanjang pengetahuanku, pemerintah masih belum rela mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
Timbul pertanyaan dalam diriku, haruskah pemerintah memutuskan untuk mengangkat atau tidak mengangkat seseorang sebagai Pahlawan Nasional? Apa keuntungan yang diperoleh seseorang yang ditetapkan sebagai Pahlawan? Apa yang akan dikatakan oleh para pahlawan atau calon pahlawan itu seandainya mereka dapat melihat, mendengar dan mengekspresikan perasaannya terhadap penilaian yang dilakukan?
Seandainya sejarah bisa ditulis apa adanya tanpa ada tendensi dari sipenulis, barangkali tidak diperlukan gelar pahlawan nasional sama sekali. Yang diperlukan hanyalah pengakuan atasnya sebagai pelaku sejarah. Cukuplah semua orang memahami bahwa orang-orang tertentu telah berjasa sesuai porsinya masing-masing bagi Negara ini dan kemudian mendoakan semoga Allah SWT menerima segala jasanya dan mengampuni segala kesalahan-kesalahannya. Sebagai manusia, para pahlawan mungkin saja punya ide, pikiran, dan tindakan bertentangan dengan keinginan penguasa dimasanya namun kemudian diadopsi oleh penguasa setelahnya atau sebaliknya, punya ide, gagasan dan perbuatan yang sesuai dengan pemerintah dimasanya namun belakangan dinilai menyimpang oleh penguasa berikutnya. Siapapun tidak akan pernah tahu niat yang terbersit dalam diri setiap pelaku sejarah. Biarlah Allah saja yang memutuskan apakah dia pahlawan atau tidak.
Kembali kepada teman tadi, katanya, orang British tidak peduli atas dasar apa para tentaranya tersebut bertempur. Yang penting adalah selagi dia berjuang atas nama Negara dan diperintah oleh penguasa yang syah, maka mereka adalah pahlawan. Mereka yang gugur layak untuk dikenang karena tentara tidak berhak mempertanyakan tugas yang diberikan kepadanya oleh pemerintahan yang syah yang telah dipilih secara demokratis.
Meskipun tidak sepenuhnya setuju atas apa yang disampaikannya, aku dapat merasakan bagaimana suasana hatinya dalam mengenang para tentara yang telah mengorbankan nyawanya demi ketenangan dan kedamaian yang dia rasakan saat ini. Semoga rakyat Indonesia tidak melupakan jasa para pahlawannya meskipun yang bersangkutan tidak/belum diakui sebagai pahlawan oleh pemrintah. Semoga Allah membalas segala jasa mereka yang telah berbuat kebaikan atas bangsa ini dan mengampuni segala salah dan khilafnya. (Ritzal405)

Tulisan ini sebelumnya dimuat di: