Sunday, 11 March 2012

Lihatlah Siapa yang berbicara sebelum melihat Apa yang dibicarakannya


A cartoon by Joel Pett
Barangkali Pembaca kaget dengan judul tulisan ini atau menyangka Penulis salah tulis. Tidak, judul di atas Penulis tulis dengan penuh kesadaran. Memang banyak di antara kita yang sering menggunakan kalimat: "Jangan lihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dibicarakannya." Tulisan ini bukan kontra seratus persen terhadap kalimat bijak tersebut, melainkan mencoba memberikan pandangan lain agar kita tidak terjerumus akibat menerima perkataan orang yang salah.

Allah SWT telah menciptakan manusia dengan dua kecenderungan yang bisa dipilih sendiri yakni kecenderungan kepada jalan fujur/sesat atau kecenderungan kepada jalan kebenaran/taqwa [Q.S. Asy-Syam: 8]. Orang yang cenderung kepada kesesatan merasa dapat dengan bebas menggunakan segala hal demi tercapainya tujuan sedangkan orang yang bertaqwa selalu merasa diawasi dan selalu menjaga segala tingkah laku dan perkataannya agar tetap berada dalam koridor kebenaran. Di antara manusia ada yang berada di area samar-samar, dikatakan bertaqwa tapi kok masih melakukan kesesatan dan dikatakan sesat tapi kok masih melakukan ibadah seperti orang yang bertaqwa. Untuk mencapai derajat taqwa itu sendiri memang tidaklah mudah. Jadi mayoritas manusia berada di area abu-abu tadi, ada yang selalu berusaha mensucikan dirinya untuk mencapai derajat taqwa dan ada yang lebih sering mengotori jiwanya sehingga menjadi sesat. Siapakah di antara kedua golongan ini yang patut dijadikan rujukan?



Tiga Golongan Perkataan

Saya kira ada beberapa hal yang perlu terlebih dahulu diklarifikasi mengenai masalah perkataan ini: (1) Perkataan menyangkut informasi yakni suatu berita atau data yang disampaikan oleh seseorang; (2) Perkataan menyangkut hikmah, ilmu pengetahuan baru, kata-kata bijak dan sebagainya; dan (3) Perkataan menyangkut hukum, ajaran agama atau hal-hal yang terkait dengan fatwa yang sudah punya ketetapan (misal ayat Al-Quran, hadist Nabi dsb). Mari kita bahas satu per-satu sebagai berikut:

1. Informasi

Terkait dengan masalah informasi ini, dalam sebuah ayat dalam Al-Quran, dengan cukup jelas Allah SWT menyampaikan sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al Hujuraat:6]

Barangkali di zaman sekarang ini sulit untuk mendefinisikan seseorang itu fasik atau beriman. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kita berhati-hati sekali terhadap informasi yang kita terima. Apalagi kalau informasi itu menyangkut orang yang selama ini kita percaya atau sudah kita kenal. Kehati-hatian terhadap berita ini tidak berkaitan dengan sikap terlalu curiga pada pembawa berita, atau terlalu membela sahabat dan sikap yang dianggap negatif lainnya, namun lebih kepada pencegahan agar tidak menghakimi seseorang berdasarkan informasi yang belum diteliti kebenarannya.

Saat ini banyak beredar informasi baik dari media cetak maupun dari internet. Ada media yang bisa diklarifikasi siapa dan dimana kantornya, namun banyak juga media yang tidak bisa diklarifikasi. Banyak orang sekarang ini mencari informasi melalui mesin pencari seperti google, yahoo, bing dan sebagainya, kemudian menganggap hasil dari pencarian tersebut sebagai sebuah kebenaran. Padahal, seperti halnya di dunia nyata, di dunia maya ini banyak sekali ditemukan berita bohong.

Salah satu contoh adalah informasi yang terkait dengan video dan foto. Banyak di antara kita yang langsung percaya dengan video atau foto yang beredar. Padahal, dengan kemajuan ilmu dan teknologi terkait video dan foto editing, sesuatu yang tidak real/nyata bisa kelihatan seperti real/nyata. Sayangnya banyak juga rekayasa begini dilakukan untuk tujuan yang "baik"seperti untuk membuat orang sadar. Penulis sering melihat foto dan video hasil rekayasa tentang peringatan bahwa kiamat sudah dekat, malaikat yang menampakkan diri, langit yang terbelah, bulan yang terbelah dan sebagainya. Kalaulah kasus hal yang luar biasa itu memang terjadi, mengapa informasinya tidak kita temukan di berbagai sumber yang selama ini lebih terpercaya? Anehnya, banyak orang yang latah kemudian menyebarkan berita tersebut.

Contoh kasus yang sudah sangat klasik adalah tersebarnya kertas fotokopian tentang mimpi penjaga makam Nabi Muhammad SAW. "Surat" itu berisi kesaksian dari seseorang yang mengaku penjaga kuburan Nabi yang bermimpi bertemu dengan Nabi dan Nabi mengingatkan akan terjadinya kiamat. Dalam surat itu juga disebutkan beberapa wasiat Nabi yang harus disampaikan ke semua ummat manusia. Di bagian bawah surat tersebut tertulis kalimat yang intinya menyuruh penerima kertas untuk memfotokopi kertas tersebut sebanyak 10 lembar dan membagikannya kepada orang lain. Jika tidak dilakukan, maka berbagai ancaman bahaya akan datang sebagai azab. Menurut hemat penulis, cara-cara seperti ini tidak dapat diterima, walaupun tujuannya adalah untuk mengingatkan manusia agar terus berbuat baik.

Contoh kasus lainnya adalah kasus kode E dalam produk makanan yang disebut sebagai kode rahasia kandungan babi. Kode E-472 misalnya, menurut penjalasan dari staff LPPOM MUI, jika kode itu berkaitan dengan bahan peng-emulsi produk makanan, maka sumbernya tidak selalu berasal dari hewan namun bisa juga berasal dari tumbuhan. Bahan yang berasal dari hewan juga tidak selalu babi. Kebetulan pada produk yang disebut-sebut oleh blog tersebut sudah mendapat sertifikat halal dari MUI karena terbukti bahannya bukan dari babi. Dengan menyebarkan informasi yang tidak teruji validitasnya ini, berarti kita telah berpotensi menimpakan musibah kepada orang lain .

Ada banyak lagi kasus lainnya yang seolah-olah kebenarannya telah teruji, padahal masih berdasarkan syak wa sangka. Ada berita yang berdasarkan fakta dan ditulis sesuai fakta, ada juga berita berdasarkan fakta yang ditulis dengan menambahkan opini. Bahkan tidak jarang berita yang dibuat berdasarkan fakta namun diberitakan sebagai sebuah berita bohong agar tidak dipercayai orang. Hanya sedikit sekali informasi yang beredar itu berdasarkan fakta dan menggambarkan secara menyeluruh kejadian yang sebenarnya terjadi. Biasanya media-media terkenal berada di kelompok ini, walau tidak semuanya juga. Mereka cenderung melakukan cek dan re-cek terhadap suatu berita sehingga permasalahan dapat terlihat dari segala segi. Oleh karena itu mari berhati-hati dalam menerima informasi atau berita dari sumber yang tidak jelas.

2. Perkataan yang menyangkut Hikmah dan Ilmu Pengetahuan

Orang berilmu mendapat posisi yang tinggi dalam Islam. Amal seseorang tidak sempurna tanpa ilmu. Ummat Islam dituntut untuk terus mencari dan mempelajari ilmu pengetahuan. Ada banyak sekali rujukan mengenai keharusan menuntut ilmu ini, antara lain:

Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 269:

“Hikmah itu akan diberikan kepada orang yang dikehendaki Allah. Barang siapa yang telah diberikan hikmah, sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang banyak.” [Al-Baqarah: 269]

Rasulullah bersabda:

“Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah dia memiliki ilmunya. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dia memiliki ilmunya. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dia memiliki ilmu”

“Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban atas tiap muslim dan muslimah.” [H.R. Bukhari dan Ibnu Majah]

Jadi dalam hal ini tidaklah tercela jika mempelajari suatu ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya sepanjang dilakukan dalam rangka mencari kebenaran dan dengan cara yang benar pula. Dalam kaidah ilmiah, ilmu yang benar adalah ilmu yang berdasarkan kepada fakta-fakta yang dianalisa dan kesimpulan ditarik berdasarkan fakta tersebut tanpa manipulasi. Orang yang melakukan rekayasa terhadap hasil analisis bukanlah seorang ilmuwan dan tidak layak dijadikan rujukan.

Masih ingatkah Anda dengan kasus/skandal Manusia Piltdown? Yaitu kasus dimana seorang Charles Dawson memalsukan temuan tengkorak seolah-olah berasal dari manusia purba, namun kenyataannya adalah gabungan dari tengkorak manusia dan tengkorak bangsa kera. Kepalsuan ini akhirnya terkuak oleh Arthur Keith 40 tahun kemudian ketika dia melakukan tes untuk mengetahui umur dari fosil tersebut. Silahkan baca kisah ini di buku The Creation karya Harun Yahya.

Jadi perkataan dalam masalah hikmah dan ilmu pengetahuan dapat diterima sepanjang dilakukan dalam koridor ilmiah tanpa dibumbui dengan rekasaya. Penerimaan kebenaran ilmu pengetahuan ini adalah penerimaan yang relatif, artinya ketika ditemukan fakta baru dan kesimpulan baru, maka fakta lama menjadi sejarah dan fakta baru dianggap sebagai suatu kebenaran. Kebenaran relatif dalam hal ini juga berarti bahwa kebenaran ilmiah ini bisa diterima sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist Nabi.

3. Perkataan menyangkut fatwa/ hukum/ Ajaran Agama.

Untuk perkataan jenis ini, tidak dapat tidak, kita harus merujuk kepada ahlinya. Agama Islam diturunkan sudah dalam bentuk sempurna. Rasulullah SAW sudah tiada dan meninggalkan dua warisan yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Selagi kita berpegang kepada keduanya, maka hidup kita akan selamat dunia akhirat. Untuk kasus-kasus yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut, maka yang berhak dijadikan rujukan adalah Ijma' para ulama dan ijtihad.

Terkait dengan hadits, para ulama telah menggolongkannya ke dalam 4 kategori yakni shahih, hasan, dhoif dan maudu'. Dalam menggolongkan hadits ini, para ulama mendasarkan pada Siapa yang meriwayatkannya. Jika penyampai adalah orang yang dikenal adil, istiqomah, berakhlaq baik, tidak fasik, terjaga kehormatannya dan kuat ingatannya dan tersambung kepada Rasulullah, maka hadits tersebut digolongkan kepada hadits shahih. Jika dari rantai hadits ini terdapat seorang yang dikenal kelemahannya seperti sering lupa dan tidak adil, maka hadits yang diriwayatkannya menjadi lemah. Jika di antara periwayat hadits ada orang yang dicurigai berdusta, maka hadits yang diriwayatkannya jatuh kepada golongan hadits palsu.

Belajar masalah fatwa atau hukum dalam masalah Agama hendaklah kepada orang yang punya pemahaman agama yang luas, adil, istiqomah, berakhlaq baik, tidak fasik, terjaga kehormatannya dan kuat ingatannya juga. Dalam hal ini, lebih pantas kita melihat "siapa" yang memfatwakan terlebih dahulu sebelum melihat "apa" fatwanya. Hal ini bertujuan agar terjaga keshahihan pendapat yang kita cari. 

Kesimpulan

Jadi untuk kasus yang terkait dengan berita/informasi dan fatwa, lebih baik kita klarifikasi dulu sumber berita/informasinya supaya kita tidak salah arah. Jangan mudah percaya dengan perkataan orang yang tidak dikenal atau orang yang dikenal sering berdusta. Janganlah karena mendapat sepotong informasi di internet atau suatu blog yang tidak dikenal dengan pasti siapa penulisnya dan bagaimana pemahamannya, kita langsung menganggap sebagai suatu yang benar kemudian ikut menyebar-luaskannya. Kaidah ilmiah yang mengatakan sesuatu itu benar selama tidak ada yang membantah, tidak berlaku dalam hal ini. Mustahil seseorang yang mengetahui kebenaran melakukan klarifikasi terus-menerus terhadap suatu berita atau informasi yang beredar dan tumbuh dimana-mana seperti jamur di musim hujan. Mari berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan suatu informasi.

Wallahua’lam,

Newcastle Upon Tyne, 4 Feb 2012
Ritzal405

1 comment:

  1. sesungguhnya perkataan yg baik adalah milik orang-orang beriman meskipun datangnya dari penjahat sekalipun.
    apakah admin kalau disuruh ustad berbuat maksiat melakukan dosa mau melakukanya???,
    apa bedanya dengan iblis yg merasa benar dgn pikiranya dan menggangap dirinya lebih mulia dari adam karena diciptakan dari api sedang adam dari tanah. itulah akal tanpa petunjuk yg akan menjerumuskan manusia.

    mending mana tampang ulama kelakuan preman
    atau tampang preman kelakuan ustad?

    ReplyDelete