Sunday 5 September 2010

PhD is not only about research

PhD is not only about reserach...begitulah suatu hari seorang teman menasehatiku. Dia menyarakan agar aku tidak hanya terpaku pada riset dan berpedoman kepada handbook yang diberikan. Namun lebih dari itu, dia menyarakan agar aku belajar dari pengalaman PhD student terdahulu, terutama yang berada pada bidang riset yang sama, supervisor yang sama dan kampus/kota yang sama. Menurutnya, sebagian besar dari permasalahan penyelesaian study PhD itu justru berada pada hal-hal di luar dari riset itu sendiri. "Waktu tiga tahuan yang disediakan untuk penyelesaian riset PhD itu sudah lebih dari cukup jika tidak ada hal lain yang mempengaruhi. Tapi betapa banyak kita saksikan PhD student menghabiskan waktu lebih lama bahkan sampai diberhentikan karena risetnya tidak kunjung selesai. Kamu mesti berhati-hati." demikian dia menegaskan. Sungguh aku tak mengerti, walau telah ia jelaskan dengan demikian gamblang, bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi capaian seseorang dalam menggapai gelar akademik tersebut. Bagiku riset yang sedang kuhadapi saja sudah cukup membuatku kewalahan.

Pelan namun pasti, hatiku mulai membenarkan kata-katanya tersebut. PhD ternyata memang tak melulu urusan riset. Hubungan dengan supervisor baik yang terkait akademik maupun yang terkait urusan pribadi ikut menentukan keberhasilan seorang PhD student. Seperti yang dialami oleh seorang teman. Dia memiliki pandangan politik global yang bertentangan dengan pandangan supervisornya. Akibatnya hubungannya menjadi tidak harmonis. Sulit sekali menyatukan pandangan jika hati sudah sama-sama tidak seiring sejalan. Untunglah ada aturan yang demikian ketat yang melindungi hubungan formal supervisor dengan mahasiswa tersebut. Selama apa yang dilakukannya sesuai dengan aturan formal yang berlaku, maka masalah belum akan muncul.

Lain lagi bagi mahasiswa yang sudah memiliki keluarga dan menuntut ilmu ke luar negeri. Ibarat buah simalakama, membawa serta keluarga ataupun meninggalkan keluarga di tanah air, sama-sama punya nilai positif dan negatifnya masing-masing. Umumnya mahasiswa PhD membawa serta keluarganya dengan pertimbangan bahwa pendidikan PhD membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang berat. Kehadiran keluarga akan menjadi penyemangat tersendiri. Selain itu keluarga yang dibawa juga akan ikut mendapatkan pengalaman baru yang tentunya sangat bernilai positif. Namun konsekuensi dari kehadiran keluarga ini adalah membengkaknya pengeluaran. Yang tadinya bisa dengan menyewa satu kamar saja akhirnya terpaksa menyewa satu rumah. Belum lagi perbedaan harga kebutuhan sehari-hari karena adanya perbedaan kurs. Pada titik tertentu, kadang kehadiran keluarga justru memecah konsentrasi si mahasiswa antara menyelesaikan persoalan studynya dan persoalan rumah tangganya. Sebaliknya jika keluarga tidak di bawa serta, dari segi keuangan akan sangat terbantu dengan bisa berbagi sewa rumah dengan teman-teman lainnya. Namun banyak yang berpendapat jika keluarga tidak di bawa serta akan berakibat tidak sinkronnya pengalaman antara si mahasiswa dengan keluarganya. Ibarat selesai menonton sepak bola, hal yang paling menarik untuk dibicarakan adalah bagaimana proses terjadinya gol atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemain. Pembicaraan akan hangat jika kedua pihak yang bercerita sama-sama ikut menonton pertandingan tersebut. Bagaimana jika hanya satu orang saja yang menonton? Akankah cerita tersebut menjadi sehangat ketika keduanya ikut menonton? Benarkah si mahasiswa bisa lebih konsentrasi dengan studynya jika keluarganya di tinggal di tanah air? Dengan mempertimbangkan segala baik dan buruknya, maka aku berkesimpulan bahwa keluarga itu harus berkumpul dan segala permasalahan harus dihadapi secara bersama-sama.

Berkaitan dengan hal di atas, yang tak kalah besar pengaruhnya adalah masalah keuangan bagi mahasiswa yang memiliki pundi-pundi yang cekak seperti ku ini yang hanya mengandalkan beasiswa luar negeri Dikti yang jumlahnya sangat terbatas. Dengan jumlah beasiswa yang hanya cukup hanya untuk biaya hidup seorang diri secara pas-pas-an, aku memberanikan diri membawa keluarga ke kampung Mr. Bean ini. Pengeluaranpun menjadi semakin besar. Sewa rumah saja sudah menghabiskan 60% dari beasiswa yang kuterima. Belum lagi biaya listrik, gas, telepon, TV license, dan tetek bengek lainnya. Siasanya hanya cukup buat hidup selama seminggu. Bagaimana kami harus melewati sisa waktu 3 minggu ke depan?

Seorang teman menceritakan pengalamannya dan menjadi sumber inspirasi juga bagiku. "Tidak ada jalan lain bagi kita yang kondisi keuangannya sulit begini selain mencari pekerjaan sampingan", demikian petuahnya. Seharusnya dengan bekal ilmu dan gelar yang disandang, aku cukup yakin bisa melakukan pekerjaan profesional di rantau ini. Namun apa daya, kondisi krisis yang melanda negeri Pangeran Charles ini membuat mustahil untuk bisa memperoleh pekerjaan demikian. Menjadi apa yang dikenal dengan sebutan Floor Engineer atau MSc adalah salah satu favorit bagi warga pendatang terutama yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan pendatang dari Eropa Timur. Floor Engineer dan MSc merupakan istilah yang di gunakan oleh pendatang untuk mengaburkan pekerjaan sebenarnya yakni sebagai staf bagian Cleaning Sevice.

Menjadi tenaga cleaner di sini ternyata punya perjuangan tersendiri. Bahkan menurut ku lebih sulit menjadi cleaner di sini dibandingkan pengalamanku mengikuti seleksi beasiswa Dikti. Bagaimana tidak, untuk menjadi cleaner mesti melewati berbagai tahapan seleksi diantaranya adalah melalui seleksi berkas, kemudian wawancara, terus tes kesehatan dan dilanjutkan dengan  rekomendasi dari dua orang referee. Bagi saya tes wawancaranya justru lebih menegangkan daripada tes wawancara untuk mendapatkan beasiswa Dikti. Jika pada wawancara Dikti, aku ditanyai mengenai proposal riset dan pengalaman penelitianku yang tentu saja cukup ku kuasai, maka pada wawancara ini aku ditanyai pengalaman menggunakan alat-alat/ mesin-mesin yang digunakan dalam pekerjaan cleaning service. Sedikitpun aku tak punya pengalaman pekerjaan cleaner kecuali hanya seputar Vacum Cleaner dan sapu. Belum lagi pertanyaan seputar standard-standard kebersihan yang berlaku.

Kembali ke permasalahan diluar riset bagi seorang mahasiswa PhD, ternyata kerja sampingan cukup menyita waktu dan tenaga juga. Apalagi jika kebagian sift pagi. Akibatnya PhD student terpaksa berangkat ke kampus dalam kondisi lelah dan serangan rasa kantuk. Dengan sisa-sisa stamina yang ada itulah tujuan pokok yakni study untuk menjadi PhD dilakoni. Bagaimana tingkat keberhasilannya?

Entahlah...aku hanya berharap adanya evaluasi menyeluruh oleh berbagai pihak mengenai pengiriman mahasiswa PhD ke luar negeri. Adalah kurang bijak jika beasiswa hanya diberikan kepada diri mahasiswa itu saja tanpa mempertimbangkan keluarganya. Ahh...Seandainya ada kebijakan yang dapat meringankan tekanan yang dihadapi oleh PhD student sehingga bisa lebih konsentrasi ke risetnya yang InsyaAllah akan menghasilkan riset yang lebih bermutu untuk kebaikan seluruh ummat manusia.

Wallahua'lam

Ritzal405

No comments:

Post a Comment