Saturday 18 June 2011

Mencegah Kecurangan dalam Ujian, Bisakah?

Exam in progress, please be quiet.
Membaca berita tanah air dalam dua hari ini dan berbagai postingan di situs jaringan social, membuat saya seperti merasakan kembali tekanan yang dihadapi saat menghadapi ujian di masa sekolah dan mengawasi ujian setelah menjadi staf pengajar disebuah perguruan tinggi. Di berita tersebut disebutkan bahwa sebuah keluarga diusir dari kampung halamannya oleh para tetangganya gara-gara melaporkan kecurangan sistematis yang dicurigai dilakukan oleh salah seorang guru disebuah sekolah tempat anaknya belajar. Terlepas dari ada atau tidaknya bias dalam pemberitaan tersebut, yang pasti adalah telah terjadi kondisi yang tidak mengenakkan akibat ketidakberesan dalam perencanaan dan pelaksanaan system pendidikan di tanah air. Kondisi ini tentu sangat mencoreng kredibilitas pendidikan kita.
Menurut saya ada beberapa hal yang salah dalam persepsi masyarakat kita. Ujian merupakan hal yang menakutkan bagi siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, pejabat kepala daerah dan seterusnya, karena menganggap skor ujian yang diperoleh siswa adalah pertaruhan nama baik dan keberhasilan masing-masing pihak. Beberapa diantara kita mungkin dengan mudah menuding kecurangan yang dilakukan oleh orang lain, namun ketika sudah menyangkut diri sendiri, berbagai alasan dicari untuk pembenarannya. Adalah wajar jika kemudian warga masyarakat menganggap orang yang tidak mau melakukan kecurangan secara bersama-sama dianggap sebagai pengkhianat. Ada sebuah kepentingan bersama yang mendorong untuk melakukan aksi secara bersama-sama untuk mengamankan kepentingan tersebut. Berbagai alasan untuk melakukan kecurangan berjamaah itupun bermunculan antara lain: karena tidak mungkin melakukan standarisasi secara nasional terhadap sekolah-sekolah karena sumber daya baik manusia maupun fasilitas di tiap sekolah berbeda-beda, persentase kelulusan adalah prestise yang jika gagal akan menorehkan citra sebagai sekolah jelek dikemudian hari, anggapan bahwa ditempat lainpun terjadi kecurangan yang sama, dan berbagai alasan lainnya.
Saya tidak sedang menuding bahwa system pendidikan yang diterapkan di tanah air yang kurang tepat. Menurut saya system apapun yang diterapkan pastilah mempunyai sisi positif dan negatifnya. Untuk mengetahui system manakah yang paling sesuai dengan keadaan di tempat masing-masing, saya yakin sudah ada tim/ bidang tersendiri yang membahasnya. Oleh karena itu saya tidak akan mengomentari hal itu. Yang ingin saya komentari adalah terkait dengan karakter manusia dan ketegasan pelaksanaan aturan. Menurut saya jika manusianya memiliki karakter luhur dan aturan dibuat secara ketat dan diterapkan secara tegas, maka potensi kecurangan tersebut dapat dikurangi. Namun, tulisan ini tidak akan membahas bagaimana menanamkan sifat jujur dan pendidikan moral melainkan hanya focus pada berbagi pengalaman mengurangi potensi kecurangan dengan penegakan aturan.
Saya mengambil contoh berdasarkan pengalaman saya mengawas ujian di sebuah universitas sebut saja NU di Inggris. Secara sederhana saya sampaikan bahwa, selama mengawas ujian di NU, pengawas  ujian bisa rileks sambil memberikan bantuan seandainya dibutuhkan oleh mahasiswa. Mahasiswapun terlihat tidak stress menghadapi ujian. Semua mengikuti petunjuk/arahan dari seorang pengawas senior sesuai dengan ketentuan pelaksanaan ujian. Selama saya mengawas, belum pernah saya menemukan mahasiswa yang melakukan atau pantas dicurigai melakukan kecurangan. Selama ujian tidak ada bisik-bisik yang terdengar antar peserta maupun peserta yang tertangkap melanggar aturan dalam bentuk apapun.
Pengalaman ini sangat kontras sekali dengan yang saya hadapi selama mengawasi pelaksanaan ujian di tanah air. Mengawas ujian di tanah air menimbulkan tekanan yang luar biasa dalam diri saya. Kalau boleh menghindar, saya lebih cenderung menghindar dari tugas ini. Bagaimana tidak, sebagai seorang staf pengajar tentunya saya ingin ujian yang saya berikan, disamping bertujuan untuk evaluasi pemahaman mahasiswa, juga merupakan evaluasi buat diri saya sendiri mengenai kemampuan saya dalam mentransfer pengetahuan yang saya miliki ke mahasiswa. Oleh karena itu saya berusaha menyusun soal yang benar-benar bisa menggambarkan hal tersebut. Sebagai bahan evaluasi, tentunya saya tidak menginginkan adanya kecurangan sedikitpun dalam ujian ini. Hal ini juga sudah berkali-kali saya sampaikan ke mahasiswa.
Saya sangat ingin semua mahasiswa saya bisa lulus dengan nilai yang sangat baik dalam setiap mata kuliah yang saya ajarkan. Oleh karena itu, saya berusaha semaksimal mungkin mencurahkan segala kemampuan saya dalam mentransfer ilmu. Dalam penilaianpun saya tidak menganut penilaian standard angka mutlak karena bisa jadi rendahnya nilai mahasiswa adalah akibat kelemahan saya dalam mentransfer ilmu tersebut.
Kenyataan yang saya hadapi selalu membuat saya miris. Setiap kali mengawas ujian bisa dipastikan ditemukan adanya mahasiswa yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang sudah ditetapkan, mulai dari pelanggaran ringan seperti meminjam peralatan tulis ke peserta lain tanpa ijin pengawas, sampai pelanggaran berat seperti membuka buku catatan atau menyalin lembar jawaban temannya. Saking seringnya pelanggaran tersebut terjadi, saya bisa sampaikan bahwa beberapa saat-saat kritis terjadinya kecurangan sebagai berikut:
1.       Saat beberapa peserta sudah mendapatkan lembaran soal dan petugas masih sibuk membagikan dan melayani mahasiswa lainnya. Saat seperti ini sering dimanfaatkan mahasiswa untuk membuka lembar soal tanpa ijin pengawas dan berdiskusi dengan temannya mengenai soal yang kemungkinan tidak bisa dia jawab. Saat ini juga sering dimanfaatkan mahasiswa untuk menyelipkan lembaran catatan atau biasa dikenal dengan sebutan ‘jimat’. Kadangkala lembaran jimat ini persis seperti lembar jawaban yang disediakan panitia ujian, sehingga jika ujian sudah berlangsung, akan sulit melacak apakah lembaran tersebut jimat atau bukan.
2.       Saat ujian berlangsung, berbagai model jimat bisa dikeluarkan mahasiswa, mulai dari lembaran kecil yang dilipat kecil-kecil dan diselipkan disela jari, buku/jimat yang ditarok disekitar tempat duduk yang bisa diakses saat pengawas lengah, saling mengoper lembar jawaban (tentunya setelah minta lembar tambahan ke pengawas supaya tetap ada lembar jawaban didepan si pengirim). Kertas untuk coretan atau sering disebut kertas buram merupakan media paling gampang untuk dipindah tangankan (tapi beresiko bisa diketahui pengawas jika tinta atau model tulisan berbeda dengan yang dipakai untuk mengisi lembar jawaban). Kadang-kadang mahasiswa yang berusaha bekerjasama dengan pengawas ujian terutama jika pengawas tersebut adalah orang yang sudah mengenal dekat dengan si mahasiswa.
3.       Saat ujian telah berakhir dan sebagian peserta sedang bergerak mengumpulkan lembar jawaban atau bergerak mengambil tas dan keluar ruangan. Saat ini biasanya kurang terkontrol dengan baik oleh pengawas akibat kelemahan aturan. Saat ini banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk meminta jawaban ke teman yang sudah selesai atau membuka catatan dan menyalinnya sambil bergerak mengumpulkan lembar jawaban. Memang saat ini hanya berlangsung sebentar (sekitar lima menit, namun lima menit yang sangat berharga untuk penyelesaian satu atau dua soal, apalagi jika soalnya adalah pilihan ganda). Saya sendiri sering memilih bergerak kebelakang dan mengawasi tingkah setiap mahasiswa pada saat itu. Bahkan kadang tanpa sadar mahasiswa menanyakan ke saya jawaban untuk soal yang dia belum selesaikan atau membuka catatan terang-terangan karena menyangka saya adalah temannya dan yakin pengawas sedang sibuk di depan kelas.
Tentunya ada banyak lagi moment-moment atau teknik kecurangan yang dilakukan mahasiswa baik yang sudah menjadi rahasia umum maupun modus baru seperti kecurangan menggunakan HP dan kalkulator.
Kejadian yang kurang lebih sama juga saya jumpai ketika mengawas ujian saringan masuk perguruan tinggi maupun ujian nasional di sekolah-sekolah. Intinya adalah kecurangan itu ada dan selalu ada orang yang berniat/berusaha melakukan kecurangan tersebut. Kelemahan dalam kandungan isi aturan dan lemahnya penegakan aturan membuat potensi kecurangan menjadi semakin besar. Kondisi ini menjadi lebih parah jika kecurangan tersebut dilakukan secara terorganisir seperti disinyalir dalam laporan media tersebut.
Peraturan yang baik dan ketat tentunya bisa meminimalisir potensi terjadinya kecurangan. Sebagai perbandingan, peraturan ujian semester di universitas di UK yang saya awasi ini sangat mirip dengan peraturan ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri di negara kita. Peraturan dibuat sangat ketat namun tidak menakutkan bagi orang yang memang tidak hendak melakukan kecurangan. Sebagai gambaran, ujian disini dilaksanakan secara terorganisir oleh sebuah lembaga di tingkat universitas. Lembaga inilah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan ujian di universitas (bukan panitia tingkat fakultas ataupun pegawai yang sering berurusan dengan mahasiswa). Beberapa mata ujian dilakukan dalam satu ruangan besar (Hall) tanpa pemisah dan diawasi oleh banyak orang. Lembaran jawaban didesain khusus dan pada hari-H ujian diberikan tinta khusus sebagai kode. Warna tinta ini tidak ada yang mengetahui sampai saat bundelan perangkat ujian dibuka beberapa saat sebelum pelaksanaan ujian. Kalkulator yang boleh digunakan mahasiswapun distandardkan di tingkat universitas. HP harus ditempatkan di atas meja dalam kondisi mati (baterainya di keluarkan untuk memastikan hp tersebut mati). Di dalam ruangan ujian, tidak ada yang boleh bersuara. Jika peserta butuh bantuan, harus mengacungkan tangan dan tidak boleh berbicara sebelum diijinkan oleh pengawas. Pengawas dan peserta ujian berbicara dengan berbisik agar tidak mengganggu ujian. Setengah jam pertama dan seperempat jam terakhir, peserta tidak boleh keluar ruangan. Lembar jawaban tidak diantar oleh mahasiswa melainkan dipungut oleh pengawas. Benar-benar serius seperti pelaksanaan ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri.
Aturan yang ketat tersebut, benar-benar diterapkan secara tegas. Setiap pelanggaran terhadap aturan tersebut ditindak dan diberi sangsi sesuai aturan yang berlaku. Kecurangan dalam ujian beresiko di skor beberapa semester atau dikeluarkan langsung dari universitas. Saya yakin, kerasnya sangsi yang diberikan inilah yang membuat jumlah kecurangan dalam ujian ini menjadi sangat minim atau hampir tidak ada. Sebagian orang mengatakan bahwa itu karena karakter mereka yang tidak tergantung orang lain dan anti kecurangan. Namun saya pikir bukan hanya karena itu, karena mahasiswa ini berasal dari berbagai negara dengan berbagai karakter masing-masing. Mereka sama-sama mengikuti aturan yang berlaku karena resiko yang mereka hadapi jika melanggar sangat besar.
Mungkinkah kecurangan ujian di negara kita diminimalisir juga dengan membuat aturan yang ketat dan melaksanakan aturannya secara tegas? Bisakah petugas kita baik pengawas, koordinator, guru/dosen, dan pejabat lainnya menerapkan aturan ini tanpa pandang bulu? Bisakah masyarakat menerima sangsi yang diberikan? Saya yakin masih banyak pelajar dan mahasiswa kita yang berusaha jujur dalam pelaksanaan ujian. Begitu juga dengan pengawas, orang tua, guru, dan para pejabat yang ingin ujian berjalan lancar dan penuh kejujuran. Tinggal bagaimana kelompok pelajar, mahasiswa, orang tua, guru, dosen, masyarakat dan pejabat yang cinta kejujuran ini mengontrol, meminimalisir dan mengeliminir potensi kelompok lain untuk melakukan kecurangan dengan menyiapkan perangkat hukum yang tegas.
Wallahu’alaam.

No comments:

Post a Comment