Foto: commons.wikimedia.org |
Alkisah suatu hari di tahun 1940-an, murid-murid pengajian di Surau Tuo tempat Buyung mengaji di undang dalam sebuah acara. Pengundang adalah Angku Datuk (seorang ulama terkenal zaman itu). Angku adalah panggilan kehormatan untuk Ustadz/Ulama atau pejabat zaman dahulu di Sumatera Barat). Ajang ini adalah semacam uji kredibilitas dari sebuah surau. Setiap undangan demikian, biasanya murid-murid akan membaca ayat-ayat pilihan dalam Al-Quran tanpa melihat mashaf dan diakhiri dengan menyantap hidangan lezat. Tentu saja hal itu sangat menarik bagi seluruh murid-murid pengajian. Maklum di zaman sulit masa itu, jarang sekali ada kesempatan makan enak di rumah. Apalagi bagi keluarga si Buyung yang memang sangat miskin.
Alangkah kecewanya di Buyung. Dia tidak diijinkan ikut. Karena pakaiannya compang-camping, tidak pantas untuk dibawa ke "tengah" (ke keramaian). Dia ngotot dan diam-diam mengikuti dari belakang. Setelah cukup jauh dari kampung, Angku Mudo, guru ngaji Buyung tahu juga. Angku Mudo tidak mungkin lagi mengusirnya, terlalu jauh dari kampung. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya dia diikutkan dengan tugas membawa kambing yang akan dibantai di sana. Si Buyungpun menyetujui.
Perjalanan ditempuh selama beberapa jam. Setiap anggota rombongan memakai pakaian terbaiknya dan berjalan dalam barisan yang rapi. Si Buyung berjalan di belakang rombongan, sambil menuntun se-ekor ambing jantan. Sepanjang jalan, si Buyung menyibukkan diri dengan mengulang-ulang hafalan ayatnya.
Setelah lama di jalan, sampai jugalah rombongan ke Surau milik Angku Datuk. Seluruh rombongan dipersilahkan masuk. Malang bagi si Buyung, dia dilarang oleh Angku Mudo untuk masuk. Dia disuruh tetap diluar karena pakaiannya yang tidak pantas. Di tempat acara telah hadir beberapa Angku dari berbagai surau.
Acarapun dimulai. Bermula dengan pidato sembah-menyembah kedua pihak, pengundang dan tamu. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran secara bersama-sama. Si Buyung menyimak sambil mengintip dari lobang dinding. Murid-murid membaca dengan sangat baik. Para Angku-pun tersenyum. Sampai pada suatu ayat, bacaan tersendat. Diulang, masih tersendat. Tidak ada satu muridpun yang bisa melanjutkan. Air muka Para Angku-pun kini berubah sedih.
Tiba-tiba dari balik dinding, kedengaran suara Begitu merdu melantunkan kelanjutan ayat yang tadi tersendat. Semua mata terarah ke arah asal suara. Angku Datuk pun bertanya: Siapa dia? Kenapa dia ada di luar? Angku Mudo pun menjelaskan bahwa dia adalah si Buyung, pembawa kambing. Angku Datuk terharu. Beliaupun memerintahkan Angku Mudo untuk membawa Buyung masuk. Beliau tidak suka ada anak yang ditinggal. Apalagi hafalannya lebih baik dari yang lain. Dipanggilnya si Buyung. Diberinya si Buyung pakaian terbaik milik anaknya. Kemudian diajaknya duduk di dekatnya sambil dipeluk. "Anak ini tidak seharusnya ditinggal. Dia sangat cerdas dan saya sangat bangga dengannya," kata Angku Datuk. Si Buyung sekarang menjadi murid Angku Datuk. Angku Mudo pun tertunduk malu.
Si Buyung mendapatkan apa yang diidamkannya. Begitulah Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Itu baru di dunia. Apalagi di akhirat kelak.