Saturday, 27 April 2013

Si Buyung

Foto: commons.wikimedia.org
Ini kisah nyata tentang seorang anak manusia. Tidak banyak yang kenal namanya. Dia hanyalah seorang anak miskin dengan pakaian compang camping. Umurnya masih 7 tahun. Orang-orang biasanya hanya memanggilnya Buyung.  Buyung adalah panggilan untuk anak laki-laki secara umum di Sumatera Barat.  Meskipun miskin, Buyung memiliki otak yang cemerlang.

Alkisah suatu hari di tahun 1940-an, murid-murid pengajian di Surau Tuo tempat Buyung mengaji di undang dalam sebuah acara. Pengundang adalah Angku Datuk (seorang ulama terkenal zaman itu).  Angku adalah panggilan kehormatan untuk Ustadz/Ulama atau pejabat zaman dahulu di Sumatera Barat). Ajang ini adalah semacam uji kredibilitas dari sebuah surau. Setiap undangan demikian, biasanya murid-murid akan membaca ayat-ayat pilihan dalam Al-Quran tanpa melihat mashaf dan diakhiri dengan menyantap hidangan lezat. Tentu saja hal itu sangat menarik bagi seluruh murid-murid pengajian. Maklum di zaman sulit masa itu, jarang sekali ada kesempatan makan enak di rumah. Apalagi bagi keluarga si Buyung yang memang sangat miskin.

Alangkah kecewanya di Buyung. Dia tidak diijinkan ikut. Karena pakaiannya compang-camping, tidak pantas untuk dibawa ke "tengah" (ke keramaian). Dia ngotot dan diam-diam mengikuti dari belakang. Setelah cukup jauh dari kampung, Angku Mudo, guru ngaji Buyung tahu juga. Angku Mudo tidak mungkin lagi mengusirnya, terlalu jauh dari kampung. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya dia diikutkan dengan tugas membawa kambing yang akan dibantai di sana. Si Buyungpun menyetujui. 

Perjalanan ditempuh selama beberapa jam. Setiap anggota rombongan memakai pakaian terbaiknya dan berjalan dalam barisan yang rapi. Si Buyung berjalan di belakang rombongan, sambil menuntun se-ekor ambing jantan. Sepanjang jalan, si Buyung menyibukkan diri dengan mengulang-ulang hafalan ayatnya.

Setelah lama di jalan, sampai jugalah rombongan ke Surau milik Angku Datuk. Seluruh rombongan dipersilahkan masuk. Malang bagi si Buyung, dia dilarang oleh Angku Mudo untuk masuk. Dia disuruh tetap diluar karena pakaiannya yang tidak pantas. Di tempat acara telah hadir beberapa Angku dari berbagai surau.

Acarapun dimulai. Bermula dengan pidato sembah-menyembah kedua pihak, pengundang dan tamu. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran secara bersama-sama. Si Buyung menyimak sambil mengintip dari lobang dinding. Murid-murid membaca dengan sangat baik. Para Angku-pun tersenyum. Sampai pada suatu ayat, bacaan tersendat. Diulang, masih tersendat. Tidak ada satu muridpun yang bisa melanjutkan. Air muka Para Angku-pun kini berubah sedih.

Tiba-tiba dari balik dinding, kedengaran suara Begitu merdu melantunkan kelanjutan ayat yang tadi tersendat. Semua mata terarah ke arah asal suara. Angku Datuk pun bertanya: Siapa dia? Kenapa dia ada di luar? Angku Mudo pun menjelaskan bahwa dia adalah si Buyung, pembawa kambing. Angku Datuk terharu. Beliaupun memerintahkan Angku Mudo untuk membawa Buyung masuk. Beliau tidak suka ada anak yang ditinggal. Apalagi hafalannya lebih baik dari yang lain. Dipanggilnya si Buyung. Diberinya si Buyung pakaian terbaik milik anaknya. Kemudian diajaknya duduk di dekatnya sambil dipeluk. "Anak ini tidak seharusnya ditinggal. Dia sangat cerdas dan saya sangat bangga dengannya," kata Angku Datuk. Si Buyung sekarang menjadi murid Angku Datuk. Angku Mudo pun tertunduk malu.

Si Buyung mendapatkan apa yang diidamkannya. Begitulah Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Itu baru di dunia. Apalagi di akhirat kelak.

Tuesday, 23 April 2013

Bahayanya Pengaburan Sejarah


Foto hanya untuk ilustrasi saja,
diambil dari sebuah website. 

“Sejarah ditulis oleh pemenang” demikian pepatah mengatakan dan diamini oleh kebanyakan sejarawan. Tidak heran jika kemudian banyak fakta-fakta sejarah yang dikaburkan atau dibelokkan demi menyesuaikan dengan keinginan dan alur cerita yang dibuat oleh si “pemenang.” Pemenang selalu kelihatan sebagai pihak yang paling baik dan paling benar dan pantas memenangkan pertarungan.

Padahal sejarah adalah bagian dari masa lalu yang sangat dibutuhkan untuk introspeksi. Jika fakta-fakta sejarah sudah dikaburkan atau dibelokkan, maka tidak ada gunanya lagi. Dia tidak lebih hanya sebagai salah satu justifikasi saja dari sebuah gagasan dari kelompok “pemenang” tanpa peduli siapa dia. Bisa jadi dia memang seorang yang sangat baik dan patut dijadikan suri teladan, namun bisa juga dia adalah penipu licik yang tamak.

Kalau mau jujur, sejarah adalah kumpulan fakta-fakta di masa silam. Seorang sejarawan yang baik mestinya tidak menulis sejarah berdasarkan apa yang diskenariokan pemenang. Seharusnya dia menggali fakta-fakat yang ada. Jika fakta tersebut tersembunyi atau disembunyikan, maka tugas dialah untuk mencari kebenaran dari fakta tersebut. Satu hal lagi, seorang sejarawan seharusnya membatasi diri dalam mencoba menginterpretasi fakta-fakta tersebut, karena interpretasi merupakan salah satu penyebab biasnya sebuah sejarah. Biarlah publik yang menginterpretasi fakta-fakta tersebut berdasarkan logikanya sendiri. Kelak, kumpulan fakta itu akan menceritakan dirinya sendiri.

Di dunia ini, dalam setiap kejadian hanya ada satu versi saja sejarah yang benar. Sisanya adalah versi interpretasi berdasarkan fakta yang tidak utuh. Semakin sedikit fakta yang terkumpul, semakin banyak asumsi dan interpretasi yang dimunculkan agar dia menjadi sebuah rangkain cerita yang beralur dan bermakna. Jika sejarawan malas dalam menggali fakta atau suka membelokkan fakta, maka yang dipublikasikan tidak lebih hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur saja.

Pengaburan fakta sejarah bisa berakibat fatal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penghilangan kontribusi salah satu golongan bisa berakibat terjadinya kesalahpahaman. Generasi penerus dari pihak yang fakta sejarahnya dikaburkan akan merasa tidak punya andil dalam sejarah bangsa mereka sementara pihak yang lain, semakin tegas merasa bahwa pihak yang dihilangkan kontribusinya tersebut, memang tidak punya kontribusi apa-apa dalam sejarah masyarakatnya. Ketimpangan ini akan menimbulkan sikap saling curiga dan dampak buruk lainnya dalam kehidupan bermasyarakat di masa datang.

Lebih jauh lagi, pihak yang kontribusinya dihilangkan dalam sejarah akan merasa terpinggirkan. Kebenaran yang tertutupi akan mencari jalannya untuk mendapatkan pengakuan. Pihak yang merasa kebenarannya tertutupi akan berusaha menunjukkan fakta-fakta yang ada melalui jalur-jalur yang tidak lazim. Buku-buku, koran-koran, majalah-majalah underground bermunculan menjadi corong menyuarakan fakta yang mereka yakini kebenarannya. Pada saatnya bukan mustahil akan menjadi gerakan massif yang berbalik menjadi sumber pemberontakan fisik.

Berhati-hatilah dalam menulis sejarah. Tidak ada pemenang yang kekal, karena kemenangan dan kekuasaan itu dipergilirkan oleh Allah SWT. Jika tradisi penghilangan sejarah terus menerus dipupuk oleh satu pemenang ke pemenang berikutnya, maka tidak ada pelajaran yang bisa diambil untuk kebaikan dimasa mendatang.


Bagi pelaku sejarah, tidak usahlah kecewa jika tidak tercatat oleh manusia atau sejarawan. Setiap tindakan pasti sudah tercatat dan pastilah akan ada balasannya yang setimpal. Setitik kebaikan yang dilakukan akan berbalas syurga, begitu juga setitik kejahatan yang terlanjur dilakukan akan berbalas neraka kecuali jika bertobat dan diampuni oleh Allah SWT.  Wallahu’alam.

Catatan:

Tulisan ini terinspirasi dari wacana penghapusan materi yang berkaitan dengan peranan Muslim dan Islam dalam perkembangan budaya di Inggris dan Eropa dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Inggris. Padahal Renaissance yang terjadi di Eropa merupakan salah satu buah dari keberhasilan budaya Islam. Pada saat itu Eropa sedang dalam masa kegelapan, sementara dunia Islam sedang dalam masa kejayaannya. Budaya Islam baik di bidang ilmu pengetahuan maupun dalam hubungan sosial kemasyarakatan berkembang dengan pesat sampai ke daratan Eropa terutama di Spanyol dan Italia. Banyak orang-orang Romawi dan Yunani yang belajar ke universitas-universitas di wilayah kekuasaan Islam yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakatnya yang pada gilirannya melahirkan Renaissance tersebut.


Friday, 19 April 2013

Professor Pengais Sampah


Dia adalah professor pembimbing disertasi saya. Usianya sudah melebihi masa pensiun. Sudah beberapa tahun ini dia tidak menerima gaji lagi dari negara karena sudah pensiun. Namun kampus tetap masih membutuhkannya sehingga tetap memperpanjang masa pengabdiannya atas biaya kampus. Saat ini, dia merupakan salah satu professor terproduktif di group riset kami. Dia banyak mendatangkan proyek dengan biaya besar ke universitas yang berimbas ke banyaknya publikasi. Tapi bukan itu yang hendak saya tulis disini, juga bukan mengenai cara dia dalam membimbing mahasiswanya. Ini adalah cerita langka yang tidak semua orang mengapresiasi yakni kecintaannya pada pemeliharaan lingkungan.

Saat itu group kami kedatangan tamu dari Indonesia. Karena saya adalah salah satu mahasiswa asal Indonesia, maka saya pun diajak ikut serta dalam pertemuan. Saat itu para peserta pertemuan disuguhi makan siang berupa burger, cake, buah, dan jenis makanan standard lainnya. Selesai makan, si professor dengan aktif mengumpulkan piring-piring yang diletakkan oleh para peserta di meja. Kemudian dia memilah sampah makanan tersebut berdasarkan jenisnya: sampah organik, sampah yang bisa di daur ulang dan sampah umum. Kemudian dia membawa dan memasukkan sampah tersebut ke tong sampah yang bersesuaian yang tersedia dalam ruangan. Saat itu saya pikir, mungkin dia sedang “mengajari” kami dan para tamu mengenai bagaimana mereka (Inggris) memperlakukan sampah sehingga wajar saja dia mau bersusah-susah mengumpulkan sampah padahal ada tenaga CS.

Pikiran tersebut sedikit terbantahkan ketika pada suatu konferensi di kota lain, kembali si professor mengumpulkan sampah-sampah dari para peserta. Padahal para peserta adalah para dosen dari berbagai universitas termasuk yunior-yunior beliau dan kami, mahasiswanya. Saya berusaha menolak dan menawarkan untuk mengambil alih tugas mengumpulkan sampah tersebut. Namun dia bersikeras sehingga saya harus mengalah. Para dosen yang lainpun membisikkan bahwa si prof itu memang begitu, hobby mengumpulkan sampah.

Pernah juga suatu kali ketika saya hendak menyampaikan materi pada sebuah seminar dan beliau sebagai pembawa acara. Di ruangan terlihat beberapa kertas berserakan. Tidak di sangka, si Prof pun membungkuk di sela-sela meja untuk mengumpulkan sampah-sampah tersebut dengan tangannya sendiri kemudian memasukkannya ke tong sampah. Anehnya yang lain hanya memperhatikan saja, tidak hendak membantu.

Di ruangan kerja beliau, terdapat sebuah tong sampah biru yang biasa digunakan untuk bahan-bahan yang bisa di daur ulang. Sekantong tutup botol plastic juga terdapat disamping tong sampah tersebut. Sekretaris pribadinya pun hanya bias geleng-geleng kepala melihat tindakan beliau itu.

Penasaran, akhirnya saya pun menanyakan kepada beliau. Kenapa beliau senang mengumpulkan sampah tersebut. Beliaupun menjawab, bahwa pekerjaan mengumpulkan dan memisahkan sampah itu hanyalah pekerjaan kecil dan ringan saja, namun manfaatnya untuk keberlangsungan alam ini sangat besar. Sayangnya banyak orang yang tidak peduli. Sampah-sampah itu akan dibuang sembarangan dan tidak terpisahkan antara yang organik, daur ulang dan sampah umum walaupun tong untuk masing-masing jenis sampah sudah disediakan. Kalau kita tidak bertindak maka lingkungan ini akan lebih cepat rusaknya.

Begitulah keunikan dari professor ini. Padahal usianya sudah sangat tua dan beliau sangat dihormati. Dia bisa saja meminta bantuan kami para mahasiswanya atau para dosen yuniornya untuk melakukan yang diinginkannya. Toh sampah juga sampah kami, sehingga tidaklah terlalu menjadi persoalan. Dia juga punya sekretaris yang bisa dia mintai tolong, atau CS yang memang bertugas untuk itu. Tapi dia lebih cenderung melakukannya sendiri sebagai salah satu kontribusinya menjaga lingkungan. Bukan untuk dirinya karena dia sudah sangat tua, tapi untuk generasi-generasi mendatang. Semoga ada hikmahnya.

Copas dari blog saya lainnya: http://staff.unand.ac.id/yosritzal/2013/04/20/professor-pengais-sampah/

Sunday, 7 April 2013

Air mata itupun mengalir sudah

Barangkali 27 November 2012 merupakan hari yang paling menyedihkan dalam hari-hariku menempuh S3. Betapa tidak, pada hari itu aku harus mengikhlaskan istri dan anak-anak ku untuk kembali ke tanah air meninggalkanku sendirian berjuang menyelesaikan tugas yang masih tertunda. Visa mereka sebetulnya masih bisa dipakai sampai akhir Januari 2013 dan masih mungkin untuk diperpanjang. Tapi pertimbangan situasi di tanah air dan situasi ekonomi kami membuat kami memutuskan untuk hanya memperpanjang Visa ku saja dan mereka kembali lebih awal. Pertimbangan itu antara lain adalah untuk menyesuaikan dengan kalender sekolah dasar di Indonesia agar anak-anak setibanya ditanah air tidak perlu terlalu lama menganggur. Selain itu kabar perpanjangan beasiswa yang belum pasti semakin menguatkan rencana itu. Maklum, biaya hidup di negeri Pangeran William ini berkali-lipat di banding di Indonesia.

Masih terbayang jelas diingatanku, saat itu, ketika semua sudah berkumpul di luar dan siap-siap berangkat, anakku Syauqi kembali lagi masuk ke dalam rumah. Aku yakin dia melakukan itu untuk melepaskan semua beban beratnya berpisah. Dia ingin menikmati rumah itu untuk terakhir kalinya sambil mengingat kalau-kalau ada sesuatu yang terlupa. Setelah itu dia duduk termenung sendiri di depan pintu. aku sempat mengabadikannya melalui kamera.

Di perjalanan, Syauqi sempat berkata bahwa dia tidak tega meninggalkan ku dan mengusulkan diri untuk ikut tinggal bersama ku. Apalagi ketika dia tahu bahwa aku akan pindah ke kos-an baru yang berlokasi di sebelah sebuah restoran take-away. Mungkin dia tahu aku tidak bisa memasak, jadi kalau ada take-away, aku tidak perlu pusing memikirkan makanan dia jika tinggal bersamaku.

Kesedihan yang sama juga menggelayuti Nada dan istriku. Sebagai anak perempuan, Nada lebih ekspresif dalam menyampaikan perasaannya. Dia menangis tersedu dan memelukku erat. Istriku terlihat lebih bisa menguasai diri, tidak ingin terlihat sedih di depan anak-anak. Walau ku tahu pasti apa yang sedang berkecamuk di relung hatinya. Semua nampak begitu berat untuk meninggalkanku serta kota kecil sudah kami tempati selama lebih kurang tiga tahun belakangan.



Tak terbayangkan betapa gembiranya mereka ketika salah seorang rekanku menyatakan bahwa beasiswa ku diperpanjang. Merekapun bersorak dan berteriak "horee...gak jadi pulang." Sayangnya berita itu hanyalah sebuah momen untuk menampilkan secercah senyum tawa ditengah duka, agar mendung ini tidak begitu kelam. Beasiswa ku tidak diperpanjang. Rekan tersebut tidak membaca judul tabel yang memuat namaku.




Kami sebenarnya tidak ingin ada yang mengantar, sehingga kami bisa menikmati kebersamaan kami di waktu yang masih tersisa. Namun kami juga tidak sanggup menolak kehadiran teman-teman yang datang langsung ke bandara maupun yang menyediakan mobil mereka untuk mengantar kami ke bandara. Aku membiarkan istri dan anak-anak melepaskan beban perpisahannya dengan teman-temannya sambil pura-pura kuat menerima perpisahan tersebut. Aku terus mencoba terlihat tabah, hingga waktunya istriku masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Aku yakin karena galaunya sampai-sampai istri ku lupa berpamitan denganku. Begitu juga anakku Syauqi dan Nada masih menggandeng tanganku. Barangkali mereka lupa bahwa aku tidak bisa menyertai mereka. Ketika mereka hilang dari pandangan, saat itulah air mata ini runtuh. Aku berusaha menyembunyikannya, entah ada yang melihat aku tak tahu.

Sesampainya di kontrakan, kesedihan itu semakin membuncah. Biasanya setiap pulang selalu ada yang menyambut di tangga sekarang mereka entah sudah berada dimana, udara Eropa daratan kah? Satu jam berdiam diri, akhirnya aku bangkit dan mulai menyadari realitas dan aku sudah harus bersiap-siap berangkat ke tempat kerja.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari sibuk ku membersihkan rumah. Kesedihan ditinggal keluarga seakan lenyap dengan banyaknya yang harus dikerjakan. Dalam tiga hari ini aku harus sudah selesai mengemasi barang-barang dan meninggalkan rumah dalam keadaan bersih seperti ketika pertama kali ditempati. Untungnya para saudara-saudari sesama Indonesia maupun dari Malaysia datang membantu.

Ada satu momen dimana aku sudah tidak sanggup lagi menahan air mata. Saat itu keluarga salah seorang teman datang bersama anak-anaknya. Tiba-tiba seolah-olah aku meraskaan bahwa Syauqi ada dirumah. Aku panggil dia untuk bersiap sholat jamaah, ternyata dia bukan Syauqi. Saat sholat, aku menjadi imam dan beberapa teman beserta puteranya menjadi makmum. Ditengah sholat itulah kutumpahkan segala kesedihanku. Ku adukan semuanya kepada Allah. Terbata-bata, ayat demi ayat kubaca. Air mata mengalir deras di pipi. Salah seorang anak yang jadi makmun keluar dari barisan berjalan kehadapanku. Dia menatapku, kemudian berlari ke ibunya, melapor. Sekuat tenaga kucoba untuk menahan linangan air mata tersebut. Ku atur nafas satu-satu. Aku bisa menguasai keadaan beberapa saat menjelang berakhirnya sholat.

Ya Allah, beri hamba dan keluarga hamba kesabaran dan ketabahan. Begitu berat ujian ini rasanya ya Allah, walau kami yakin ujian yang kami hadapi ini tidaklah seberat ujian yang ditimpakan kepada saudara-saudara kami yang lain. Ampunilah kami ya Allah. Berikanlah petunjuk dan hidayah-Mu kepada kami, mudahkanlah urusan kami sehingga kami bisa segera berkumpul kembali dan membina keluarga ini untuk selalu dekat dengan-Mu. Bantulah hamba dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik sehingga berhasil meraih gelar PhD sebelum bulan July tahun ini, ya Allah. Ridhoilah semua aktifitas hamba dan aktifitas keluarga hamba. Amiin amiin ya Rabbal alamiin.