Sunday 7 April 2013

Air mata itupun mengalir sudah

Barangkali 27 November 2012 merupakan hari yang paling menyedihkan dalam hari-hariku menempuh S3. Betapa tidak, pada hari itu aku harus mengikhlaskan istri dan anak-anak ku untuk kembali ke tanah air meninggalkanku sendirian berjuang menyelesaikan tugas yang masih tertunda. Visa mereka sebetulnya masih bisa dipakai sampai akhir Januari 2013 dan masih mungkin untuk diperpanjang. Tapi pertimbangan situasi di tanah air dan situasi ekonomi kami membuat kami memutuskan untuk hanya memperpanjang Visa ku saja dan mereka kembali lebih awal. Pertimbangan itu antara lain adalah untuk menyesuaikan dengan kalender sekolah dasar di Indonesia agar anak-anak setibanya ditanah air tidak perlu terlalu lama menganggur. Selain itu kabar perpanjangan beasiswa yang belum pasti semakin menguatkan rencana itu. Maklum, biaya hidup di negeri Pangeran William ini berkali-lipat di banding di Indonesia.

Masih terbayang jelas diingatanku, saat itu, ketika semua sudah berkumpul di luar dan siap-siap berangkat, anakku Syauqi kembali lagi masuk ke dalam rumah. Aku yakin dia melakukan itu untuk melepaskan semua beban beratnya berpisah. Dia ingin menikmati rumah itu untuk terakhir kalinya sambil mengingat kalau-kalau ada sesuatu yang terlupa. Setelah itu dia duduk termenung sendiri di depan pintu. aku sempat mengabadikannya melalui kamera.

Di perjalanan, Syauqi sempat berkata bahwa dia tidak tega meninggalkan ku dan mengusulkan diri untuk ikut tinggal bersama ku. Apalagi ketika dia tahu bahwa aku akan pindah ke kos-an baru yang berlokasi di sebelah sebuah restoran take-away. Mungkin dia tahu aku tidak bisa memasak, jadi kalau ada take-away, aku tidak perlu pusing memikirkan makanan dia jika tinggal bersamaku.

Kesedihan yang sama juga menggelayuti Nada dan istriku. Sebagai anak perempuan, Nada lebih ekspresif dalam menyampaikan perasaannya. Dia menangis tersedu dan memelukku erat. Istriku terlihat lebih bisa menguasai diri, tidak ingin terlihat sedih di depan anak-anak. Walau ku tahu pasti apa yang sedang berkecamuk di relung hatinya. Semua nampak begitu berat untuk meninggalkanku serta kota kecil sudah kami tempati selama lebih kurang tiga tahun belakangan.



Tak terbayangkan betapa gembiranya mereka ketika salah seorang rekanku menyatakan bahwa beasiswa ku diperpanjang. Merekapun bersorak dan berteriak "horee...gak jadi pulang." Sayangnya berita itu hanyalah sebuah momen untuk menampilkan secercah senyum tawa ditengah duka, agar mendung ini tidak begitu kelam. Beasiswa ku tidak diperpanjang. Rekan tersebut tidak membaca judul tabel yang memuat namaku.




Kami sebenarnya tidak ingin ada yang mengantar, sehingga kami bisa menikmati kebersamaan kami di waktu yang masih tersisa. Namun kami juga tidak sanggup menolak kehadiran teman-teman yang datang langsung ke bandara maupun yang menyediakan mobil mereka untuk mengantar kami ke bandara. Aku membiarkan istri dan anak-anak melepaskan beban perpisahannya dengan teman-temannya sambil pura-pura kuat menerima perpisahan tersebut. Aku terus mencoba terlihat tabah, hingga waktunya istriku masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Aku yakin karena galaunya sampai-sampai istri ku lupa berpamitan denganku. Begitu juga anakku Syauqi dan Nada masih menggandeng tanganku. Barangkali mereka lupa bahwa aku tidak bisa menyertai mereka. Ketika mereka hilang dari pandangan, saat itulah air mata ini runtuh. Aku berusaha menyembunyikannya, entah ada yang melihat aku tak tahu.

Sesampainya di kontrakan, kesedihan itu semakin membuncah. Biasanya setiap pulang selalu ada yang menyambut di tangga sekarang mereka entah sudah berada dimana, udara Eropa daratan kah? Satu jam berdiam diri, akhirnya aku bangkit dan mulai menyadari realitas dan aku sudah harus bersiap-siap berangkat ke tempat kerja.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari sibuk ku membersihkan rumah. Kesedihan ditinggal keluarga seakan lenyap dengan banyaknya yang harus dikerjakan. Dalam tiga hari ini aku harus sudah selesai mengemasi barang-barang dan meninggalkan rumah dalam keadaan bersih seperti ketika pertama kali ditempati. Untungnya para saudara-saudari sesama Indonesia maupun dari Malaysia datang membantu.

Ada satu momen dimana aku sudah tidak sanggup lagi menahan air mata. Saat itu keluarga salah seorang teman datang bersama anak-anaknya. Tiba-tiba seolah-olah aku meraskaan bahwa Syauqi ada dirumah. Aku panggil dia untuk bersiap sholat jamaah, ternyata dia bukan Syauqi. Saat sholat, aku menjadi imam dan beberapa teman beserta puteranya menjadi makmum. Ditengah sholat itulah kutumpahkan segala kesedihanku. Ku adukan semuanya kepada Allah. Terbata-bata, ayat demi ayat kubaca. Air mata mengalir deras di pipi. Salah seorang anak yang jadi makmun keluar dari barisan berjalan kehadapanku. Dia menatapku, kemudian berlari ke ibunya, melapor. Sekuat tenaga kucoba untuk menahan linangan air mata tersebut. Ku atur nafas satu-satu. Aku bisa menguasai keadaan beberapa saat menjelang berakhirnya sholat.

Ya Allah, beri hamba dan keluarga hamba kesabaran dan ketabahan. Begitu berat ujian ini rasanya ya Allah, walau kami yakin ujian yang kami hadapi ini tidaklah seberat ujian yang ditimpakan kepada saudara-saudara kami yang lain. Ampunilah kami ya Allah. Berikanlah petunjuk dan hidayah-Mu kepada kami, mudahkanlah urusan kami sehingga kami bisa segera berkumpul kembali dan membina keluarga ini untuk selalu dekat dengan-Mu. Bantulah hamba dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik sehingga berhasil meraih gelar PhD sebelum bulan July tahun ini, ya Allah. Ridhoilah semua aktifitas hamba dan aktifitas keluarga hamba. Amiin amiin ya Rabbal alamiin.

No comments:

Post a Comment