Photo diambil dari prow135.blogspot.com |
Saya pernah merasakan sensasinya sekitar 16 tahun yang lalu.
Lampu-lampu di jendela bangunan berkelipan.
Sesekali terlihat lift berhiaskan lampu berwarna merah turun dari puncak dengan kecepatan tinggi.
Jarak pandang di jalanan tidak lebih dari 5 meter, sisanya kabur.
Yang mengejutkan, sesekali melintas ular besar, monyet atau beruang.
Di kota besar ada ular, monyet dan beruang?
Ah tidak. Ini hanya sensasinya saja.
Realitanya, saya sedang berjalan ditengah hutan yang terbakar (atau dibakar?).
Sungai Akar, 2007.
Hutan sebelah kiri dan kanan jalan hampir ludes dimamah si jago merah.
Lahan gambut memudahkan bara api menyeberang melewati pondasi bawah jalan.
Yang terlihat seperti gedung bertingkat banyak tersebut adalah pohon-pohon besar
Dahannya, ranting dan daunnya sudah hangus terbakar.
Meninggalkan pohon utamanya saja.
Kadang sebongkah kayu jatuh dari puncak seperti lift yang turun dengan cepat.
Hewan-hewan liar berlarian menghindar.
Ada yang selamat, tapi kebanyakan tidak dapat menyelamatkan diri.
Banyak yang menuduh penebang liar dari penduduk sekitar yang berulah.
Well, ya sebagian dari mereka berprofesi sebagai "pembalak".
Tapi menurut saya mereka hanyalah bagian dari ekosistem itu sendiri.
Mereka menebang sebatang pohon besar, menggergajinya kemudian menjualnya.
Uang yang di dapat digunakan untuk sebulan hidup.
Setelah uang tersebut habis, mereka kembali ke hutan.
Memilih pohon besar lainnya dan melakukan hal yang sama.
Efek nya tidak akan masif.
Mereka bukanlah orang yang diuntungkan dari terbakarnya hutan.
Mereka malah dirugikan karena tidak dapat lagi membalak.
Mereka akhirnya harus rela menghisap udara penuh racun itu.
Yang tidak tahan akhirnya mengungsi.
Perlahan mereka makin tersingkir.
Hujan turun, apipun padam.
Lahan yang terbakar kemudian berubah menjadi perkebunan.
Entah siapa tuannya.
Para pekerja pendatang yang dianggap rajin dan pemberani berkuasa di lahan itu.
Penduduk lokal sering dianggap sebagai "pemalas" menjadi tamu di tanah sendiri.
Ah…derita bumi melayu.
No comments:
Post a Comment