Menarik menyimak diskusi hangat di milis Kibar (Keluarga Islam Indonesia Britania Raya) belakangan ini mengenai plus minus sistem pendidikan yang memberikan ranking dengan sistem pendidikan yang tidak memberikan ranking bagi siswa. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro beralasan bahwa sistem tersebut menimbulkan kompetisi sehingga masing-masing anak akan terdorong untuk berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi yang terbaik. Sedangkan yang kontra beralasan bahwa pemberian ranking demikian ditengarai dapat menyebabkan kurangnya sikap menghargai antar siswa dimana anak yang tidak mendapat juara kurang mendapat penghargaan meskipun telah melakukan peningkatan yang cukup bagus.
Jika ditanya pendapat saya mengenai sistem ranking ini, tentu saya akan mengatakan bahwa sitem ini ada baik dan buruknya. Untuk sekedar berbagi, saya pernah punya pegalaman tidak mengenakkan akibat sistem ranking tersebut. Kebetulan saya selalu mendapat ranking terbaik di kelas dan di sekolah sejak di bangku SD sampai tamat SMA. Tentu saja saya senang mendapatkan ranking terbaik karena di samping mendapatkan penghargaan dan hadiah dari para guru, saya juga dapat membuat orang tua saya bangga. Namun ternyata tidak semua orang senang dengan keberhasilan saya. Beberapa teman merasa iri dan bersepakat untuk membuat ranking saya jatuh. Mereka menyusun rencana yang sungguh luar biasa untuk ukuran anak-anak yaitu: Pertama, mencuri buku catatan saya; Kedua, mengganggu konsentrasi saya ketika belajar dan Ketiga, memukul kepala saya berulang-ulang. Logikanya sangat sederhana, jika saya kehilangan catatan, maka saya tidak bisa mengulang pelajaran lagi. Dengan mengganggu konsentrasi saya ketika belajar, saya tidak akan dapat menangkap pelajaran dengan baik. Terakhir dengan memukul kepala saya, maka kemampuan otak saya untuk berpikir akan berkurang. Sungguh komprehensif. Saya mengetahui rencana ini karena mereka mendiskusikannya di dekat saya. Meskipun saya sudah mengetahui rencana tersebut, saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya tidak berani melawan karena mereka lebih tua (merupakan murid yang tinggal kelas), badannya besar-besar dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Berkali-kali saya kehilangan catatan, berkali-kali pula konsentrasi belajar saya diganggu dan berkali-kali pula kepala saya mengalami pukulan. Ketika berusaha untuk mengadukan hal ini kepada guru, para guru malah menganggap saya mengada-ada karena tidak bisa membuktikannya. Kejadian ini baru berakhir setelah saya masuk SMA. Betul-betul pengalaman buruk yang membuat saya trauma.
Lalu apakah saya juara karena termotifasi oleh sistem ranking ini? Jawabannya tidak. Saya tidak pernah merasa termotifasi karena sistem ini. Cara belajar saya tetap sama bahkan cenderung malas. Saya lebih senang membaca sambil tiduran atau sambil berkebun. Kadang-kadang saya terpaksa belajar karena beberapa teman baik datang ke rumah dan minta diajari. Ujianpun saya lalui dengan biasa-biasa saja. Barulah pada saat pengumuman juara kelas atau juara sekolah, perasaan saya tak menentu. Teman-temanpun berkerubung disekitar saya dan menakut-nakuti bahwa saya tidak juara lagi kali ini. Bosan katanya mendengar yang juara selalu saya. Mereka ingin sekali-sekali mendengar nama orang lain yang dipanggil sebagai juara. Jantung sayapun berdebar dengan kencangnya, antara menyesal karena tidak belajar dengan baik dan keyakinan bahwa saya telah menjawab setiap soal ujian dengan baik. Karena tidak siap menghadapi pengumuman ini, kadang-kadang saya lebih memilih untuk tidak datang ke sekolah dan menitipkan pengambilan rapor ke orang lain. Ketika mengetahui bahwa saya masih juara seperti biasa, senangkah saya? Ternyata tidak juga. Perasaan saya tetap seperti biasa karena memang begitulah biasanya.
Kembali ke diskusi dalam milis yang mayoritas anggotanya merupakan warga Indonesia yang pernah tinggal untuk bekerja atau mengenyam pendidikan tinggi di UK diatas, yang menarik adalah adanya semacam kesepakatan bahwa sistem pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai luhur lebih baik dari sistem pendidikan yang sekedar mengejar nilai angka. Bahkan inilah salah satu keunggulan pendidikan Indonesia yakni bertujuan menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa. Sayangnya tujuan ini mengalami distorsi dalam tataran operasionalnya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia yang lebih mulia karena berilmu dan memiliki moralitas yang tinggi, justru berubah menjadi ajang kompetisi semu antara sesama pejabat, antar sekolah, dan antar kelas. Berbagai usaha dilakukan untuk memenangkan kompetisi semu tersebut. Salah satu faktanya adalah terungkapnya berbagai kebocoran soal ujian yang melibatkan berbagai pihak. Kompetisi semu ini sangat miskin ‘nilai-nilai’, kulit lebih diutamakan dari isi. Sekolah-sekolah berlomba mengadakan pelatihan kiat-kiat menghadapi ujian, atau membebankan sebagian tugasnya ke berbagai lembaga bimbingan belajar.
Saya teringat dengan pesan seorang Professor Emeritus dari salah satu perguruan tinggi di Sumatera. Ketika itu saya merupakan salah seorang peserta pelatihan Bahasa Inggris di universitas tersebut. Salah satu tujuan pelatihan itu adalah agar para peserta mendapatkan skor TOEFL yang memenuhi syarat untuk diterima di perguruan tinggi luar negeri. Kami, para peserta, bingung karena sampai mendekati akhir masa pelatihan, peserta belum juga mendapatkan kiat-kiat bagaimana agar sukses dalam TOEFL. Sang Professor dengan tenang menjelaskan bahwa mereka tidak menyiapkan kami hanya untuk mencapai skor TOEFL tinggi, namun menyiapkan kami (para peserta) dengan kemampuan penguasaan Bahasa Inggris yang pasti akan sangat berguna bagi kehidupan kami. Beliau mengingatkan kami untuk jangan belajar hanya untuk TOEFL, tapi belajarlah untuk menguasai bahasa itu sendiri. Dengan kemampuan tersebut, kami akan siap menghadapi jenis test Bahasa Inggris yang manapun. Sungguh luar biasa. Sebuah pesan yang tidak dapat kami pahami saat itu, namun terasa sekali kebenarannya saat ini.
Menurut saya inilah sistem yang seharusnya diterapkan. Sistem yang tidak mengutamakan hasil ujian semata, namun sistem yang lebih menghargai proses. Para peserta didik dididik menguasai ilmu itu sendiri tanpa dibebani untuk mencapai skor tertentu. Setiap orang diberikan penghargaan atas setiap capaian baik yang dia peroleh dan mendapatkan perhatian dibagian yang masih perlu peningkatan tanpa perlu dibandingkan dengan orang lain secara terbuka. Moralitas anak-anak didik dijaga agar tetap jujur dan yakin dengan kemampuan diri sendiri. Ujian dilakukan bukan untuk mem-vonis peserta didik melainkan untuk mengevaluasi kinerja guru, mengevaluasi efektifitas teknik yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar serta menyiapkan strategi lanjutan untuk meningkatkan penguasaan peserta didik. Bahwa dikemudian hari peserta didik harus menghadapi ujian tertentu, tidak akan mengapa. Karena mereka sudah memperoleh segala jurus untuk menaklukkannya. Wallahua’lam. (Ritzal405).
Tulisan ini dimuat di: